Sepotong Cinta


"Pakabar, Cinta?”

Ini adalah pertanyaan yang selalu saya dengar ba’da salam, setiap kali saya berjumpa dengan Maimon Herawati, muslimah kelahiran Padang yang merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai Redaktur Majalah Wanita Islam “Ummi”. Kata ini adalah kata yang sangat sederhana, namun membuncah perasaan saya setiap mendengarnya.

“Ada yang bisa saya bantu?”

Dan ini adalah sapa kedua ba’da salam yang selalu saya dengar dari rekan kerja saya, Ifa Avianty. Memandang wajahnya saya selalu merasa ringan, seakan puluhan orang mengulurkan tangannya dan siap mendekap saya.

“Apa pun yang kamu perlukan,” kalimat ini merupakan terjemahan dari senyum dan anggukan tulus teman saya, Meutia Geumala, setiap kali saya datang padanya.

Tetapi tak ada kata yang terucap ba’da salam, dan hanya keheningan sesaat, setiap kali saya bertemu dengan Nurul Hidayati, seorang muslimah biasa, yang banyak membagi makna kehidupan dalam cahaya Islam kepada saya. Mata dan hati kami yang bicara, dan kedua matanya yang jeli akan berkaca-kaca. Sedang saya selalu menangis, tanpa sepatah kata pun. Lalu orang-orang sekeliling kami akan menatap tak mengerti.

Setiap kali bertemu seseorang saudara di sabilillah, kau akan menyadari, betapa mereka berarti dan meninggalkan jejaknya dalam di hatimu, walau jarak dan waktu membentang. Maka, tinggalkanlah juga jejakmu di hati saudara fillah yang kau cintai. Dan kau tak akan merugi sedikitpun.

Indonesia Belum Menyerah


“Aku seorang seniman,” lelaki berambut gondrong itu berkata padaku. “Tapi tidak sepertimu, aku cuma seniman pinggiran,” tambahnya lagi seraya menyebut namanya: Iwan, tinggal di Tanjung Priok.

Waktu itu Desember, 2000, hari sudah senja di Taman Ismail Marzuki. Aku baru saja berkenalan dengan Iwan dan Ratri adik perempuannya, di toko buku Jose Rizal Manua.

“Aku tidak percaya partai, Mbak,” tiba-tiba Ratri berkata, pada pertemuan kami yang berikut, dua minggu kemudian, di tempat yang sama “Apalagi pada tokoh-tokohnya. Muak sekali melihat mereka,” tambahnya sinis.

“Ya…, aku juga. Nggak ada yang benar. Partai yang besar kubenci, yang kecil bikin aku geli. Lihat deh partai-partai gurem itu kan nggak jelas. Ada juga yang membawa agama untuk kepentingan partai, sekadar memanipulasi ayat Tuhan!” nada suara Iwan agak geram.

“Ya, tapi tak semua….,” bantahku.

Sayang percakapan kami terhenti karena tiba-tiba hujan turun begitu deras.

Kami berpisah, dua tahun lalu, di TIM tanpa pernah bertukar alamat dan tak pernah bertemu lagi setelah itu. Sampai akhir November 2002, seseorang menyapaku, di tempat yang sama: Taman Ismail Marzuki.

“Assalaamu’alaikum, Mbak! Masih ingat saya? Saya Iwan, seniman pinggiran itu….saya sudah potong rambut. Apa Mbak masih mengenali saya?”

Sesaat aku mengernyitkan dahi. Sosok di depanku sangat rapi dan sopan. Tapi ia memang Iwan. Dan topi yang dipakainya? Aku kembali mengerutkan dahi…, Iwan memakai topi berlambang Partai Keadilan?

Ia membuka topinya dan tersipu. “Sekarang saya jadi aktivis PK, Mbak. Masih kecil-kecilan.”

Aku tersenyum. Bagaimana bisa?

Segera kuajak Rita teman yang sejak tadi bersamaku dan Iwan makan siang bersama.

“Tahun lalu banjir besar melanda Tanjung Priok. Teman-teman dari partai itu yang pertama datang ke lokasi. Mereka membantu kami bukan hanya pada hari itu, tapi berbulan-bulan kemudian masih memantau keadaan kami. Mereka melakukan semua tanpa pamrih, tanpa mengajak kami masuk partai mereka. Mereka juga membuka pos-pos pelayanan masyarakat secara gratis,” kata-kata Iwan meluncur begitu cepat.

“Lalu?”

“Saya mulai ingin tahu tentang PK. Mereka memang unik. Saya berkali-kali mengadakan demonstrasi dengan kelompok saya. Jumlahnya cuma seratusan, tapi pasti ricuh. Sementara saya lihat setiap teman Partai Keadilan turun melakukan aksi di jalan, sampai ribuan orang, tak sedikit pun ada keributan. Kelihatannya kok tenang, kok asyik,” Iwan menghirup air jeruknya.

Aku dan Rita berpandangan. Nyengir.

“Saya bertemu DR. Hidayat Nurwahid awal tahun ini. Wah, dia memeluk saya. Padahal saya bukan apa-apa. Waktu itu saya mengikuti ceramahnya di Al Azhar. Saya salami dia. Eh, dia menjabat tangan saya erat, malah memeluk saya,” Kenang Iwan haru. “Waktu itu Hidayat Nurwahid berkata pada banyak orang, termasuk saya: Bahkan seandainya Anda tidak masuk ke Partai Keadilan sekali pun, tapi Anda mendukung, menegakkan dan melaksanakan keadilan, yang itu berarti Anda mengamalkan Islam, maka Anda sesungguhnya sudah menjadi bagian dari kami. Saya terharu sekali, mbak!”

Lagi-lagi aku dan Rita saling berpandangan. Itu perkataan yang memang sering diucapkan Presiden PK: Dr. Hidayat Nurwahid.

Iwan masih terus bercerita. Angin kencang Kafe Musi di area terbuka TIM tempat kami duduk, menyentuh dan menggeser lembaran-lembaran Majalah Tempo edisi terbaru, November 2002 yang ada di pangkuanku. Tak sengaja ekor mataku membaca tulisan itu sekali lagi: “Indonesia Belum Menyerah!”

Dalam edisi tersebut terdapat “Figur Pahlawan Pilihan Pembaca”, sebuah polling yang melibatkan ratusan pembaca Tempo. Sholahudin Wahid, Hidayat Nurwahid, Abdullah Gymnastiar, Kwik Kian Gie, Susilo B Yudhoyono, Sri Sultan Hamengkubuwono dan Iwan Fals adalah tujuh nama yang menjadi pilihan pembaca secara berurutan.

Iwan masih terus bercerita. Angin meliukkan jilbab putihku sesekali. Tiba-tiba aku teringat wajah teman-temanku yang tak henti memikirkan masalah ummat itu….

Ah, Indonesia tak akan menyerah, Wan! Tak akan pernah!

Doa Yang Selalu Dikabulkan


Pagi itu, 3 Mei 1998, dari Jakarta, saya diundang mengisi seminar di IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Saya duduk di bangku kedua dari depan sambil menunggu kedatangan pembicara lain, Mimin Aminah, yang belum saya kenal. Jam sembilan tepat, panitia menghampiri saya dan memperkenalkan ia yang baru saja tiba. Saya segera berdiri menyambut senyumnya yang lebih dulu merekah. Ia seorang yang bertubuh besar, ramah, dalam balutan gamis biru dan jilbab putih yang cukup panjang. Kami berjabat tangan erat, dan saat itu tegas dalam pandangan saya dua kruk (tongkat penyangga yang dikenakannya) serta sepasang kaki lemah dan kecil yang ditutupi kaos kaki putih. Sesaat batin saya hening, lalu melafazkan kalimat takbir dan tasbih.

Saat acara seminar dimulai, saya mendapat giliran pertama. Saya bahagia karena para peserta tampak antusias. Begitu juga ketika giliran Mimin tiba. Semua memperhatikan de-ngan seksama apa yang disampaikannya. Kata-kata yang dikemukakannya indah dengan retorika yang menarik. Wawasannya luas, pengamatannya akurat.

Saya tengah memandang wajah dengan pipi merah jambu itu saat Mimin berkata dengan nada datar. “Saya diuji Allah dengan cacat kaki ini seumur hidup saya.”

Ia tersenyum. “Saya lahir dalam keadaan seperti ini. Mungkin banyak orang akan pesimis menghadapi keadaan yang demikian, tetapi sejak kecil saya telah memohon sesuatu pada Allah. Saya berdoa agar saat orang lain melihat saya, tak ada yang diingat dan disebutnya kecuali Allah,” Ia terdiam sesaat dan kembali tersenyum. “Ya, agar mereka ingat Allah saat menatap saya. Itu saja.”

Dulu tak ada orang yang menyangka bahwa ia akan bisa kuliah. “Saya kuliah di Fakultas Psikologi,” katanya seraya menambahkan bahwa teman-teman pria dan wanita di Universitas Islam Bandung—tempat kuliahnya itu—senantiasa bergantian membantunya menaiki tangga bila kuliah diadakan di lantai dua atau tiga. Bahkan mereka hafal jam datang serta jam mata kuliah yang diikutinya. “Di antara mereka ada yang membawakan sebelah tongkat saya, ada yang memapah, ada juga yang menunggu di atas,” kenangnya.

Dan civitas academica yang lain? Menurut Mimin ia sering mendengar orang menyebut-nyebut nama Allah saat menatapnya. “Mereka berkata: Ya Allah, bisa juga ya dia kuliah,” senyumnya mengembang lagi. “Saya bahagia karena mereka menyebut nama Allah. Bahkan ketika saya berhasil menamatkan kuliah, keluarga, kerabat atau teman kembali memuji Allah. Alhamdulillah, Allah memang Maha Besar. Begitu kata mereka.”

Muslimah bersahaja kelahiran tahun 1966 ini juga berkata bahwa ia tak pernah bermimpi akan ada lelaki yang mau mempersuntingnya. “Kita tahu, terkadang orang normal pun susah mendapatkan jodoh…, apalagi seorang yang cacat seperti saya. Ya tawakal saja.”

Makanya semua geger, ketika tahun 1993 ada seorang lelaki yang saleh, mapan dan normal melamarnya. “Dan lagi-lagi saat walimah, saya dengar banyak orang menyebut-nyebut nama Allah dengan takjub. Allah itu maha kuasa, ya. Maha adil! Masya Allah, Alhamdulillah, dan sebagainya,” ujarnya penuh syukur.

Saya memandang Mimin dalam. Menyelami batinnya dengan mata mengembun.

“Lalu saat saya hamil, hampir semua yang bertemu saya, bahkan orang yang tak mengenal saya, menatap takjub seraya lagi-lagi mengagungkan asma Allah. Ketika saya hamil besar, banyak orang menyarankan agar saya tidak ke bidan, melainkan ke dokter untuk operasi. Bagaimana pun saat seorang ibu melahirkan otot-otot panggul dan kaki sangat berperan. Namun saya pasrah. Saya merasa tak ada masalah dan yakin bila Allah berkehendak semua akan menjadi mudah. Dan Alhamdulillah, saya melahirkan lancar dibantu bidan,” pipi Mimin memerah kembali. “Semua orang melihat saya dan mereka mengingat Allah. Allahu Akbar, Allah memang Maha Adil, kata mereka berulang-ulang.”

Hening. Ia terdiam agak lama.

Mata saya basah, menyelami batin Mimin. Tiba-tiba saya merasa syukur saya teramat dangkal dibandingkan nikmatNya selama ini. Rasa malu menyergap seluruh keberadaan saya. Saya belum apa-apa. Yang selama ini telah saya lakukan bukanlah apa-apa.

Astaghfirullah. Tiba-tiba saya ingin segera turun dari tempat saya duduk sebagai pembicara sekarang, dan pertamakalinya selama hidup saya, saya menahan airmata di atas podium. Bisakah orang ingat pada Allah saat memandang saya, seperti saat mereka memandang Mimin?

Saat seminar usai dan Mimin dibantu turun dari panggung, pandangan saya masih kabur. Juga saat seorang (dari dua) anaknya menghambur ke pelukannya. Wajah teduh Mimin tersenyum bahagia, sementara telapak tangan kanannya berusaha membelai kepala si anak. Tiba-tiba saya seperti melihat anak saya, yang selalu bisa saya gendong kapan saya suka. Ya, Allah betapa banyak kenikmatan yang Kau berikan padaku.

Ketika Mimin pamit seraya merangkul saya dengan erat dan berkata betapa dia men-cintai saya karena Allah, seperti ada suara menggema di seluruh rongga jiwa saya. “Subhanallah, Maha besar Engkau ya Robbi, yang telah memberi pelajaran pada saya dari pertemukan dengan hambaMu ini. Kekalkanlah persaudaraan kami di Sabilillah. Selamanya. Amin.”

Mimin benar. Memandangnya, saya pun ingat padaNya. Dan cinta saya pada Sang Pencipta, yang menjadikan saya sebagaimana adanya, semakin mengkristal.

Allah, Siapkah Aku Bila Engkau Ingin Bertemu?


Pernahkah Anda melihat seseorang menjelang sakaratul maut? Berapakali Anda melihat mereka yang terbelalak ketakutan, yang kesakitan atau yang hanya seperti hendak tidur? Aku punya seorang teman dekat di SMU I Binjai bernama Wati. Ia dara berjilbab yang sangat cantik, supel, berbudi, senang menolong orang lain dan selalu menjadi juara kelas. Maka seperti mendengat petir disiang hari, saat kudengar ia yang sudah sekian lama tak masuk sekolah ternyata mengidap kanker rahim. Bahkan sudah menyebar hingga stadium empat!!

Sekolah kami berduka. Para aktivis rohis amat sedih. Wati adalah motor segala kegiatan dakwah. Ide-idenya segar. Ia selalu punya terobosan baru. Ia bisa mendekati dan disukai siapapun. Sungguh, kami tak memiliki Wati yang lain. Maka betapa pedih menatapnya hari itu. Ia tergolek lemah di ranjang. Badannya menjadi amat kurus. Wajahnya pasi. Setelah sakit berbulan-bulan, hari ini ia tak mampu lagi mengenali kami!

"Wati sudah sebulan ini tak bisa bangun," kata ibunya sambil mengusap air matanya.

Namun kami berbelalak, saat baru saja ibunya selesai bicara, perlahan Wati berusaha untuk bangun. Kami semua tercengang saat ia berdiri dan berjalan melintasi kami seraya berkata dengan suara nyaris tak terdengar, "Aku mau berwudhu dan shalat Dhuha."

Serentak kami semua berebutan membimbingnya ke kamar mandi. Setelah itu ibunya memakaikannya mukena dan sarung. Sementara ayahnya kembali membaringkannya di tempat tidur karena ia terlalu lemah untuk shalat sambil berdiri. Hening. Tak seorang pun yang bersuara saat ia melakukan shalat Dhuha. Selesai shalat, saat ibunya akan membukakan mukena, ia melarang dengan halus. Lalu lama sekali dipandanginya wajah ibu, ayah dan adik-adiknya satu persatu bergantian. Dari mulutnya terus menerus terdengar asma Allah. Kami yang menyaksikan tak kuat lagi menahan tangis.

Tiba-tiba Wati tersenyum. Ia memandang kami, teman-temannya, dengan penuh sayang. Lalu kembali memandang wajah ayah, ibu dan adik-adiknya bergantian. Kini kulihat butiran bening menetes dari sudut matanya. Lalu susah payah ia mengangkat kedua tangannya dan mendekapkannya di dada. Dengan tersenyum ia menutup kedua matanya sambil mengucapkan dua kalimat syahadat dengan sangat lancar. Innalillaahi wa inna ilaihi rooji'uun. Ia telah pergi untuk selamanya. Bagai melayang aku menyaksikan semua. Dadaku berdebar, lututku gemetar. Subhanallah, ia telah kembali dengan sangat sempurna dalam usia yang baru 18 tahun. Tiba-tiba, antara ilusi dan kenyataan, aku mencium wewangian. Tubuhku bergidik. Aku menangis terisak-isak.

Allah, siapkah aku bila Engkau ingin bertemu?

Agar Dia Tak Membuang Saya


Mukminah seorang penggembira yang senang menolong siapa saja. Di Panti Werdha I, Cipayung ini, ia selalu membantu para manula. Mulai dari mengambilkan makanan, menuntun mereka ke kamar mandi, menemani para orangtua itu memeriksakan kesehatan pada dokter keliling, menghibur, dan apa pun yang bisa dilakukannya. Hari-hari yang mungkin terasa suram, menjadi lebih cerah dengan kehadiran dan kebaikan perempuan gemuk, putih, bermata sipit itu.

“Saya harus berdoa. Saya senang ibadah…,” ujarnya sekali waktu.

Tetapi tak banyak yang tahu, apa yang ia ceritakan pada saya, di suatu hari. Dulu, ia adalah bayi kecil yang ditemukan di depan panti sebuah rumah sakit di Cirebon. Seorang Haji keturunan Arab mengambil dan membesarkannya. Kemudian ia menikah dengan seorang lelaki sederhana yang memberinya seorang putri cantik. Sayang, sang suami meninggal tak lama kemudian. Ia pun jatuh bangun membesarkan anak satu-satunya dengan segala rasa cinta dan tanggung jawab. Anaknya tumbuh dewasa, menikah, namun dililit kemiskinan. Menantunya yang bertemperamen kasar mengusirnya, sebelum mereka pindah entah kemana.

“Saya dibuang saat dilahirkan, lalu dibuang lagi di sini, ketika tua,” ujarnya pelan dengan mata berkaca-kaca. “Maka, apa yang ingin saya lakukan sekarang hanyalah berbuat kebaikan, agar satu-satunya harapan saya, Dia, meridhoi. Ya, agar Dia meridhoi, dan tidak membuang saya… di neraka.”

Setiap kali melewati Panti Werdha I, Cipayung, saya selalu teringat perkataan Mukminah, nenek berusia lebih dari 65 tahun itu, yang selalu senang menolong siapa saja. Dan saya selalu berdoa untuknya.